29.2 C
Pandeglang

Penerapan Pidana terhadap Anak yang Membawa atau Menggunakan Senjata Tajam: Apakah Upaya Akhir?

Published:

Opini, tirasbanten.id – Hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan. Indonesia adalah negara yang merdeka, dan dalam konstitusi ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3). Dengan demikian, negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya, dan setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali.

Salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat adalah kejahatan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan oleh anak-anak untuk tawuran. Penggunaan senjata tajam yang tidak sesuai fungsinya dapat menimbulkan masalah dan tindakan kriminal. Kepemilikan senjata tajam oleh orang-orang yang tidak memiliki hak dan tidak bertanggung jawab dapat mengakibatkan tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian, pengancaman, penculikan, dan sebagainya.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, pada Penjelasan Pasal 15 Ayat (2) Huruf e disebutkan pengertian senjata tajam:
“Senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata digunakan untuk pertanian, pekerjaan rumah tangga, kepentingan pekerjaan yang sah, atau barang pusaka/barang kuno/barang ajaib.”

Dari pasal tersebut, dapat diketahui definisi senjata tajam. Bagi setiap orang yang membawa senjata tajam tanpa hak untuk menguasainya, dapat dikenai ancaman pidana. Oleh sebab itu, jika tidak untuk keperluan pekerjaan atau tugas jabatan, lebih baik tidak membawa senjata tajam ketika bepergian. Alasan untuk jaga diri tidak dapat diterima sebagai pembenaran jika tertangkap membawa senjata tajam.

Di Indonesia, semua masyarakat wajib tunduk terhadap aturan hukum. Tidak diperbolehkan membawa senjata tajam. Menggunakan senjata tajam yang tidak sesuai dengan kegunaannya dapat mengakibatkan penangkapan oleh pihak berwajib. Beberapa pasal mengancam pidana bagi orang yang menggunakan senjata tajam. Biasanya penyidik akan menggunakan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam.

Artinya, seseorang yang dengan sengaja membawa, memiliki, menguasai, atau menyembunyikan senjata tajam seperti alat penusuk atau alat pemukul akan diancam dengan pidana penjara 10 tahun. Sudah sangat jelas bahwa membawa senjata tajam untuk melindungi diri bertentangan dengan undang-undang dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Lantas, bagaimana dengan anak yang membawa atau menggunakan senjata tajam?

Di Indonesia, regulasi terkait perlindungan anak yang ditetapkan pertama kali adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Ini dilakukan untuk memberikan efek jera, serta mendorong langkah konkret pemulihan fisik, psikis, dan sosial anak korban kejahatan. Setiap putusan yang diambil harus dipertimbangkan dengan benar, seperti sanksi yang seharusnya dijatuhkan kepada anak nakal (pelaku), mengapa sanksi tersebut dipilih, apa tujuannya, serta berbagai pertimbangan yang pada pokoknya demi kepentingan terbaik anak itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Sistem Peradilan Pidana Anak dibentuk dengan keistimewaan berbeda dari sistem peradilan pidana biasa. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum mendapat perlakuan khusus, termasuk penanganan oleh hakim khusus, yaitu hakim anak.

Dalam pengadilan anak, sidang dilakukan oleh hakim tunggal. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan untuk anak, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridis, tetapi juga pertimbangan sosiologis. Peran hakim sangat besar dalam menangani perkara anak. Hakim anak tersebut benar-benar harus memahami kepentingan terbaik anak. Putusan yang diambil haruslah dapat memberikan keadilan sehingga berguna dan bermanfaat bagi anak.

Penegak hukum harus memperhatikan lebih jeli mengenai kewajiban mengupayakan diversi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Hal ini merujuk pada Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Ayat (5) mengatur bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Oleh karena itu, jika melihat pengaturan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, anak yang melakukan tindak pidana wajib diupayakan diversi.

Wallahu a’lam.
Ahmad Subhan

(Jee/Red)

Artikel terkait

Artikel terkait