29.5 C
Pandeglang

Intervensi Kekuasaan dan Krisis Kedaulatan Pemuda Pandeglang

Published:

Opini, tirasbanten.id – Berakhirnya masa kepemimpinan Sulaeman Apandi sebagai Ketua DPD KNPI Kabupaten Pandeglang bukan sekadar pergantian tongkat estafet dalam struktur organisasi. Peristiwa ini menandai babak baru dalam perjalanan organisasi kepemudaan yang selama tiga tahun terakhir terjaga dalam koordinasi tunggal di bawah kepemimpinan versi Ali Hanafiah.

Pada masa itu, DPD KNPI Pandeglang berhasil menjadi ruang kolaboratif yang menyatukan berbagai elemen organisasi pemuda secara harmonis. Namun, harmoni tersebut kini terguncang oleh intervensi politik yang mengancam kedaulatan gerakan pemuda lokal.

Intervensi Kekuasaan dalam Musda KNPI

Menjelang Musyawarah Daerah (Musda), gerakan pemuda Pandeglang terpapar kuat oleh manuver elite kekuasaan, khususnya dari Wakil Bupati Pandeglang, Tb. Iing Andri Supriadi. Terdapat arahan dan tekanan kepada kelompok Cipayung Plus untuk mendukung Ajat Sudrajat—tokoh yang berasal dari PMII dan Ansor—serta desakan agar KNPI Pandeglang beralih dari versi Ali Hanafiah ke versi Rano Alfath.

Praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip netralitas birokrasi dan etika politik demokratis. Jika dianalisis melalui lensa filsafat politik, tindakan ini mencerminkan paternalisme otoriter (authoritarian paternalism), di mana elite politik tidak hanya memberi arahan, tetapi secara aktif menentukan arah organisasi masyarakat sipil—dalam hal ini, organisasi pemuda.

Kedaulatan Pemuda yang Tergerus

Dalam skema ini, pemuda tidak lagi menjadi aktor otonom yang bebas menentukan sikap politik, melainkan direduksi menjadi instrumen kekuasaan. Kedaulatan mereka untuk mengartikulasikan aspirasi dikooptasi oleh kalkulasi politik praktis, mengaburkan batas antara negara dan organisasi sosial.

Jean-Jacques Rousseau pernah menegaskan pentingnya kehendak umum (volonté générale) dalam demokrasi. Ketika kehendak kolektif pemuda ditundukkan oleh agenda elite, yang tersisa hanyalah kehendak mayoritas semu (volonté de tous)—sebuah kompromi yang rapuh dan tunduk pada dominasi kekuasaan.

Ironi Peran Birokrasi

Pernyataan Wakil Bupati bahwa “hanya KNPI versi Rano Alfath yang akan diakui Pemda” justru mempertegas ironi. Seorang pejabat publik seharusnya menjadi penjaga keberimbangan, bukan katalisator polarisasi.

Menurut Hannah Arendt, kekuasaan seharusnya menciptakan ruang kebebasan untuk diskursus, bukan menundukkan kebebasan menjadi subordinasi struktural.

Krisis Nilai dan Legitimasi

Reaksi kritis mulai bermunculan dari kalangan pemuda yang menyadari bahwa krisis ini bukan sekadar persoalan dualisme versi, melainkan krisis nilai dan legitimasi. Kepemimpinan sejati tidak diukur dari pengakuan formal, tetapi dari integritas dan independensi gerakan.

Jika KNPI Pandeglang akhirnya terpecah, sejarah akan mencatat bahwa pemicunya adalah instrumen kekuasaan yang gagal memahami roh kemandirian pemuda.

Seruan untuk Bangkit

Sudah saatnya pemuda Pandeglang bersuara dan merawat semangat kritis. Organisasi pemuda bukanlah satelit kekuasaan, melainkan fondasi perubahan sosial yang berakar dari kehendak masyarakat.

Seperti dikatakan Søren Kierkegaard:
“Bentuk keputusasaan paling umum adalah ketika seseorang tidak menjadi dirinya sendiri.”

Pemuda sejati bukanlah refleksi kuasa elite, melainkan cahaya yang membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil dan mandiri.

Penulis:
Yudistira
(Demisioner Ketua Eksekutif LMND Pandeglang)

(Jee/Red)

Artikel terkait

Artikel terkait