33.3 C
Pandeglang

Waspadai Predator Anak Mengintai

Published:

Tangerang, tirasbanten.id – Kaitan Kejadian Kasus yang diduga Pencabulan/sodomi terhadap 13 anak yang terjadi di Yayasan/Panti Asuhan Yatim Piatu yg berada di Kota Tangerang diduga menjadi tempat pelecehan seksual terhadap anak-anak binaannya. Mirisnya, ini dilakukan oleh seorang Ketua Yayasan/Pengasuh Panti yang masih satu dalam ruang lingkup asrama.

Informasi yang dihimpun penulis yang sudah membuat laporan terjadi kepada anak korban 13 anak (korban laki-laki semua) dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah jumlah korbannya. Para korban saat ini telah mendapatkan pemulihan multi layanan dan dukungan psikososial dari pendampingan Pekerja Sosial, UPTD PPA dan Kementerian Sosial dan Kementerian PPPA.

Menanggapi kasus tersebut, Penulis turut prihatin atas kejadian yang sangat luar biasa (KLB) ini apalagi kejadiannya berada dilingkungan Asrama Panti Asuhan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi mereka, dan penulis meminta dengan tegas agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang setimpal bagi tersangka bilamana terbukti secara hukum dan menghimbau agar orang tua mampu meningkatkan kepercayaan diri anak – anaknya dan mengawasi perubahan prilaku anak, serta menghimbau agar pihak lingkungan juga ikut terlibat dalam upaya perlindungan anak. Sudah saatnya kita tidak tinggal diam.

“Saya meminta agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang berat sesuai tindakan tersangka bila terbukti melakukan pencabulan. Saya pun mengimbau agar para orang tua lebih peka terhadap perubahan pada anak. Selain itu, orang tua juga harus mampu meningkatkan kepercayaan diri pada anak agar jangan mudah terbujuk iming-iming orang yang tidak dikenalnya bila memerlukan pertolongan segera berteriak atau mencari perlindungan”.

Jika terbukti Apa yang telah dilakukan oleh pelaku telah mengarah pada pelanggaran Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dimana Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Jika tersangka terbukti bersalah, maka tersangka akan dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dari hasil telaah Penulis dengan melakukan konfirmasi kebeberapa pekerja sosial yang ada di Kota tangerang dengan anak-anak korban rata-rata berusia sekitar usia 9,13,8,14, Tahun Maka sebagai penulis perlu menggaris bawahi beberapa hal :

1) Jumlah korban

Tidak tertutup bertambahnya korban lebih dari 13 orang dari yang yang sudah diidentifikasi dan divisum (Cek lab dll) . Hal ini sangat memungkinkan karena rata-rata anak yang menjadi korban berada dalam ruang lingkup Asrama/Yayasan Yatim Piatu. Memerlukan penanganan yang serius dan komprehensif pemulihan pisik maupun psikis.

2) Pentingnya early warning (peringatan dini) dalam aspek edukasi.

Pertama, memberikan pemahaman dan edukasi kepada anak agar ‘menjadi diri sendiri dan berani bercerita’, sehingga anak tidak mudah tergiur dengan ajakan atau iming-iming yang tidak tau asal darimana orang yang tidak dikenal maupun dikenal dekat dengan anak.

Kedua, mengajarkan tentang pentingnya menjaga anggota tubuh terutama bagian tubuh yang terlarang secara sehat.

Ketiga, bagaimana berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, maupun dikenalnya sekalipun dan berani menolak/menghindari perilaku yang beresiko. sangat penting untuk diberikan kepada anak oleh orang tua, pendidik, masyarakat.

Karena kepolosan anak-anak yang memiliki rasa penasaran yang tinggi saat “ditawari tersangka dengan iming-iming jajanan, fasilitas wifi dan lainnya, menjadikan mereka korban yang mudah dibohongi dan diperdaya.

3) Intervensi lanjutan terhadap pemulihan korban

Pasca peristiwa tersebut penting untuk penguatan terhadap anak-anak baik secara psikologis, sosial, dan membangun norma dan kesadaran hukum (dalam konteks apa yang dilakukan oleh tersangka merupakan perbuatan salah dan melanggar hukum), sehingga ini tidak menjadi framing pembenaran yang terpatri di pikiran anak agar mereka tidak menjadi korban lagi atau pelaku dikemudian hari.

4) Pengkondisian agar korban tidak dijadikan sasaran bully

Dalam ruang lingkup keluarga, teman sekolah, teman bermain (sebaya), serta masyarakat dimana anak tinggal. Karena korban anak tersebut merasakan bahwa apa yang mereka terima setelah peristiwa yang menimpa mereka berupa ejekan, lebih sakit dan membuat mereka luar biasa malu dibanding apa yang mereka alami dari peristiwa kejahatan seksual itu sendiri. Pengkondisian ini akan menjadi best practices bila berhasil dijalankan dalam masyarakat dimana locus peristiwa terjadi.

5) Optimalisasi Penegakan Hukum

Kasus ini memiliki implikasi hukum yang luas, selain konstruksi hukum itu sendiri yang harus memastikan bahwa tersangka mendapatkan hukuman yang setimpal, yang mampu memberikan efek jera, disisi lain ada hak-hak korban untuk mendapatkan restitusi akibat kejahatan seksual tersebut.
Bilamana korbannya lebih dari 13 anak ini harus dijadikan kewaspadaan dan kejadian luar biasa yang sewaktu-waktu akan menjadi boom waktu yang akan berdampak kepada lingkungan sosial kemasyarakatan.

Semoga kejadian ini menjadi pintu masuk dalam mengupayakan kebijakan dan program yang mampu melindungi anak-anak dikemudian hari. termasuk dalam ranah dunia pendidikan.

Wawallahualam.

Penulis: Ahmad Subhan (Ketua LDP Banten/Dosen STIA Banten/Dosen BKI UIN Banten)

Artikel terkait

Artikel terkait