Serang, tirasbanten.id – Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak laporan mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, baik yang melibatkan mahasiswa maupun tenaga pengajar. Kekerasan seksual di perguruan tinggi sering kali terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pelecehan verbal hingga non verbal. Banyak korban merasa tertekan untuk melaporkan kejadian tersebut karena takut akan stigma sosial, kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan, atau bahkan pembalasan dari pelaku. menjadi perhatian serius Komnas perempuan dan lingkar studi feminis.
Menurut penuturan Bahrul Fuad dari Komnas Perempuan RI adanya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sangatlah dibutuhkan sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi terutamanya di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Sebuah perguruan tinggi dianggap bagus jika ada laporan dan tindak lanjut mengenai kasus kekerasan seksual. Sebaliknya, jika sebuah perguruan tinggi tetap tenang, samar dan membiarkan ketika ada kasus kekerasan seksual maka perguruan tinggi tersebut dinilai buruk.
Bahrul Fuad menyampaikan dalam materinya mengenai gambaran korban kekerasan seksual dengan perumpamaan piring pecah.
“Seseorang yang menjadi korban dari Tindakan kekerasan seksual itu seperti piring pecah. Ketika piring itu pecah maka walaupun disatukan Kembali hasilnya tidak akan seperti bentuk semula.” Ucapnya.
Ia juga menambahkan kasus kekerasan seksual di dunia Pendidikan lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki relasi kuasa seperti oknum dosen dan senioritas dan menjelaskan peran pentingnya satgas PPKS di Perguruan Tinggi. Dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dan Peraturan Kementerian Agama (Kemenag) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022.
“Kasus kekerasan seksual sedikit yang dilakukan mahasiswa dan lebih banyak dilakukan oleh orang yang memiliki relasi kuasa seperti dosen dan senioritas di perguruan tinggi. Peran satgas PPKS di kampus itu seperti ancaman untuk para dosen. Namun, biasanya satgas PPKS kurang mendapat dukungan dari kampus mengenai tempat dan operasional yang menjadikan satgas PPKS kurang optimal.” Tambahnya.
Ia menjelaskan, ketika Satgas PPKS tidak berfungsi dengan baik, lingkungan akademis menjadi tidak aman bagi semua mahasiswi/a. Hal ini menciptakan budaya imunitas dimana pelaku kekerasan seksual merasa bebas untuk bertindak tanpa takut akan konsekuensi. Situasi ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mengganggu proses belajar mengajar dan menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi perkembangan akademis. paparnya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Komnas Perempuan yaitu dari setiap perguruan tinggi mengenai Satgas PPKS kebanyakan anggotanya adalah dosen dan tanpa melibatkan mahasiswa didalamnya. Lalu, bagaimana jika pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah dosen? Akhirnya satgas PPKS kurang maksimal dalam tugasnya sebagai pencegahan dan penanganan mengenai kasus kekerasan seksual. jelasnya.
“Banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak mendapatkan tindak lanjut dan mengabaikan perempuan sebagai korban di perguruan tinggi. Pengabaian kasus kekerasan seksual oleh Satgas PPKS memiliki dampak yang mendalam bagi korban. Mereka sering kali mengalami trauma yang berkepanjangan, kehilangan kepercayaan terhadap institusi pendidikan, dan merasa terisolasi. Selain itu, ketidakadilan ini juga dapat menghambat proses pemulihan psikologis dan emosional korban, yang seharusnya mendapatkan dukungan dan perlindungan”. Tutupnya
Sementara Eva Nurcahayani selaku Aktivis Lingkar Studi Feminis menjelaskan Penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi memerlukan kepekaan, empati, dan tindakan yang tepat. Agar kita dapat membantu korban mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dan berkontribusi pada lingkungan yang lebih aman di perguruan tinggi. Penting untuk selalu ingat bahwa setiap tindakan yang diambil harus menghormati keputusan dan kenyamanan korban.
“Tentunya peran satgas PPKS sangat penting untuk membuka ruang bagi korban kekerasan seksual. Saya berharap agar Satgas PPKS lebih terbuka lagi dan memperjelas alur penanganannya untuk korban kekerasan seksual” Ucapnya.
“Harapan saya semoga Satgas PPKS lebih terbuka lagi dan memperjelas alur penanganan bagi korban kekerasan seksual. Karena, itu harus disosialisasikan kepada mahasiswi/a bahwasanya satgas mempunyai SOP penanganan kekerasan seksual di kampus UIN ini dan bagaimana ketika ada mahasiswi/a yang melapor ke Satgas itu secara terbuka. Karena itu juga yang diatur dalam Permenag.” Ucapnya
Para pemateri juga menambahkan mengenai Satgas PPKS yang harus mensosialisasikan kepada mahasiswi/a
Dari hasil tanya jawab dengan mahasiswi/a ternyata masih banyak mahasiswi/a yang bingung mengenai alur penanganan untuk kasus kekerasan seksual ini. Jadi diharapkan Satgas PPKS untuk lebih terbuka dan mensosialisasikan kepada mahasiswi/mahasiswa
Kasus kekerasan seksual adalah Tindakan yang tidak diperkenankan untuk berdamai dengan pelaku. Karena, kekerasan seksual bukan hanya sekedar tindakan fisik, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang mendalam. Ketika kasus-kasus ini diselesaikan secara damai, sering kali pelaku tidak mendapatkan konsekuensi yang setimpal dengan tindakan mereka. Hal ini dapat menciptakan preseden buruk, di mana pelaku merasa bahwa mereka dapat lolos dari hukuman hanya dengan melakukan negosiasi atau memberikan kompensasi kepada korban.
Lebih jauh lagi, penyelesaian damai dapat menyebabkan trauma yang lebih dalam bagi korban. Mereka mungkin merasa terpaksa untuk menerima tawaran damai demi menghindari stigma sosial atau tekanan dari lingkungan sekitar. Ini dapat mengakibatkan korban merasa tidak berdaya dan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Penting untuk diingat bahwa setiap kasus kekerasan seksual harus ditangani dengan serius dan melalui proses hukum yang sesuai. Penegakan hukum yang tegas tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga berfungsi sebagai deterrent bagi pelaku lain. Masyarakat perlu didorong untuk melaporkan setiap kasus kekerasan seksual dan mendukung korban dalam proses hukum. (Rey/Red)