27.9 C
Pandeglang

Mengenal Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dalam Memperjuangkan Hak-hak Anak Yang Berhadapan dengan Hukum

Published:

Oleh : Ahmad Subhan, S.IP., M.A

Sitem Peradilan Pidana Anak (SPPA) telah memasuki paradigma baru dengan diberlakukannya UU No. 11/2012 yang mulai berlaku Agustus tahun 2014. Dibandingkan dengan UU Nomor 3/1997 yang telah dicabut, pemberlakukan UU SPPA baru ini dianggap oleh banyak pihak sebagai suatu langkah kemajuan dalam menjamin pemenuhan hak-hak anak. Lantas apa bedanya?

Berbeda dengan UU sebelumnya, UU No 11/2012 berusaha mengedepankan kepentingan terbaik anak baik anak itu sebagai pelaku, korban, ataupun anak yang bertindak sebagai saksi. Pendekatan yang digunakan pada UU No 11/2012 tidak lagi menekankan pada penghukuman (retributive) tapi menggunakan pendekatan keadilan restorative (restorative justice). Restorative Justice adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait dan bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan (p.1). Pemulihan kembali pada kondisi seperti sedia kala menjadi penekanan dalam UU ini. 

Diversi atau pengalihan proses formal peradilan pidana ke proses non-formal kekeluargaan di luar peradilan pidana menjadi satu alternatif cara yang wajib diupayakan oleh para penegak hukum ataupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya untuk mencapai keadilan restorative tersebut. Cara ini didasari oleh pemikiran dan hasil penelitian yang menyatakan bahwa proses peradilan ataupun penjara dapat mengakibatkan pengalaman traumatis bagi anak dan membawa dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak.

Lantas Apa Peran Peksos dalam UU SPPA No 11/2012

Dalam konteks UU SPPA No 11/2012, peran pekerja sosial (peksos) ataupun tenaga kesejahteraan sosial (TKS) menjadi sangatlah strategis. Jika pada UU sebelumya peran pekerja sosial sangat kecil, sekarang peran peksos menjadi lebih besar. Peksos/TKS bersama-sama dengan anak, orang tua/wali dan pembimbing kemasyarakatan merupakan pihak yang terlibat dalam proses musyawarah Diversi ( pasal 8 (1 dan 2). Laporan sosial yang dibuat oleh peksos/TKS juga menjadi bahan pertimbangan penyidik pada saat proses pemeriksaan (pasal 27 (3). Selain itu, ketika masalah hukum diselesaikan di luar persidangan, Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) selanjutnya akan menjadi tanggung jawab Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dimana pekerja sosial menjadi aktor di lembaga tersebut yang akan menangani ABH.

Peran Peksos di Pengadilan

Peran peksos di Pengadilan Negri sesungguhnya dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai ke tahap pengadilan. Pekerja sosial membuat laporan sosial (lapsos) yang sangat berperan penting dalam pengambilan keputusan terhadap ABH di tiap-tiap tahapan tersebut. Melalui laporan sosial, baik penyidik, penuntut maupun hakim dapat mengetahui apakah anak mengalami trauma atau tidak sehingga dapat menentukan perlakuan yang akan diberikan kepada anak.

Laporan sosial juga menjadi rekomendasi terkait latar belakang sosial si pelaku. Informasi di dalam laporan sosial dapat menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara anak. Apakah anak pelaku diserahkan kembali kepada orang tua atau diikutsertakan ke dalam program pendidikan dan pembinaan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

Pentingnya peran laporan sosial tersebut membuat kehadirannya sangat diharapkan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan dan tahan pengadilan. Pada saat laporan sosial sudah tersedia maka pihak pengadilan akan mengundang pekerja sosial untuk mendampingi anak di proses pengadilan.

Dalam tahap pengadilan, pekerja sosial membantu memperlancar tugas hakim ketika hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada anak (terutama anak korban). Pada saat pertanyaan hakim sulit dicerna oleh anak maka pekerja sosial mencoba menterjemahkannya dengan bahasa yang membuat anak senyaman mungkin untuk menjawabnya. Peksos juga diharapkan mengerti akan psikologi perkembangan anak sehingga ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami oleh anak ketika proses pengadilan tidak akan terjadi.  

 Dalam melakukan peranannya, pekerja sosial saling bekerjasama dengan Pembimbing Kemasyarakatan yang berasal dari Balai Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham atau yang lebih dikenal dengan PK Bapas. Walaupun dalam berbagai forum diskusi dinyatakan bahwa anak saksi dan korban menjadi ranah peksos/TKS dan anak pelaku menjadi ranah PK Bapas akan tetapi pada kenyataannya pengadilan akan menjadikan penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dibuat oleh PK Bapas dan Lapsos yang dibuat oleh peksos ketika mengambil keputusan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Akan tetapi, pentingnya peran peksos tersebut di dalam pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum tidak dibarengi dengan tersedianya jumlah pekerja sosial yang memadai dan siap untuk mendampingi ABH di lapangan. Contoh di Pandeglang saja hanya ada 1 Peksos dengan wilayah kerjanya sebanyak 35 Kecamatan 13 Kelurahan dan 322 desa, Pengadilan Negeri ataupun penyidik kerap merasa kesulitan ketika memanggil pekerja sosial dan tidak semua Dinas Sosial memiliki daftar pekerja sosial pendamping ABH.  

Harapannya kedepan, masing-masing Pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi ataupun membentuk wadah yang dapat menyatukan aparat penegak hukum ataupun pihak-pihak terkait sehingga kesemua pihak dapat berkoordinasi dan menyelesaikan masalah ABH dengan baik sesuai dengan amanah UU SPPA No.11/2012. Tidak hanya itu,  Pemerintah daerah terutama Pandeglang diharapkan dapat menginvetarisir pekerja sosial yang siap untuk mendampingi ABH dan juga panti-panti sosial atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang mempunyai program latihan kerja dan rujukan untuk rehabilitasi sosial nya . Hal ini sangat memudahkan para aparat penegak hukum dalam menetapkan tindak lanjut atas anak yang berperkara.

 Sebelum musyawarah diversi di tingkat kepolisian, pekerja sosial biasanya melakukan home visit ke keluarga pelaku untuk mendapatkan data tentang anak pelaku. Selain itu pekerja sosial juga melakukan pendekatan awal kepada para korban, Di dalam proses ini pekerja sosial mencoba meyakinkan para korban bahwa penjara bukanlah tempat yang baik untuk anak. Peksos juga menyampaikan kepada korban agar mau menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan dan tidak meneruskannya kepada tahap penuntutan dan juga tahap pengadilan. 

    Setelah melakukan pendekatan awal dan berhasil meyakinkan pihak korban, peksos mengikuti musyawarah diversi di  kepolisian. Proses diversi di tingkat penyidik ini dipimpin oleh pihak kepolisian dan diikuti oleh PK Bapas, Peksos, korban dan keluarga pelaku. Setelah proses diversi berhasil, para korban, penyidik dan PK Bapas menandatangani hasil kesepatan diversi yang akan disampaikan ke pengadilan dan diperoleh penetapannya oleh pengadilan. Pada tahap ini pekerja sosial juga diminta menyampaikan laporan sosial dari anak pelaku.

  Pekerjaan seorang pekerja sosial ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Setelah musyawarah diversi tercapai dan anak diputuskan untuk dimasukkan kedalam LPKS untuk menjalani proses rehabilitasi maka pekerja sosial berkewajiban untuk melakukan pendampingan terhadap anak tersebut. Berbagai macam pelayanan diberikan kepada anak baik itu konseling, pemberian keterampilan, ataupun bimbingan sosial sampai anak benar-benar siap untuk menjalankan fungsi sosialnya di dalam masyarakat seperti sedia kala. Seorang pekerja sosial juga memastikan keluarga ataupun masyarakat siap untuk menerima anak ketika si anak yang bersangkutan diputuskan untuk dikembalikan kepada keluarga.     

Apabila belajar dari pengalaman dan mengamati langsung dalam menangani ABH tersebut, tidaklah berlebihan jika pekerja sosial dianggap sebagai “manusia multi-talend”. Kemampuan berkomunikasi dengan baik, pemahaman melakukan pendampingan di tiap tingkatan, dan juga kemampuan bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendamping ABH. Semua kompetensi tersebut harus dikuasai tanpa terkecuali jika tujuan restorative justice ingin tercapai.  

Akan tetapi, semua kerja keras peksos tersebut akan terbayarkan ketika melihat senyum-senyum Anak Yang Berhadapan dengan Hukum kembali mengembang dan melihat mereka dapat kembali berkarya demi masa depan bangsa. Tentu saja, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi suatu bangsa selain bisa mempersiapkan generasi yang mampu mengelola bangsa dan negara pada zamannya. (Cep)

Artikel terkait

Artikel terkait