Banten, tirasbanten.id – Proses seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten menuai polemik serius dan mempertanyakan komitmen pemerintah daerah terhadap prinsip meritokrasi serta tata kelola yang bersih.
Berbagai dugaan mengemuka, mulai dari pelanggaran prosedur, kurangnya transparansi, indikasi korupsi, hingga politisasi dalam proses pengisian jabatan tinggi ASN tersebut.
Polemik semakin menajam setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dikabarkan mengembalikan berkas seleksi karena tidak menyertakan nilai manajemen talenta dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kondisi ini memunculkan dugaan adanya cacat prosedural yang fundamental dalam tahapan seleksi.
“Ini bukan sekadar administratif. Publik melihat indikator serius potensi pelanggaran sistem merit. Proses ini layak dievaluasi menyeluruh,” ujar Ilham Mutakhir, Ketua Bangun Kebaikan Banten.
Tuntutan terhadap transparansi juga semakin menguat. Masyarakat dan sejumlah pemerhati pemerintahan meminta agar seluruh dokumen asesmen, nilai makalah, serta hasil wawancara dibuka untuk umum. Hingga berita ini diturunkan, publik belum memperoleh akses terhadap data tersebut, yang menimbulkan kesan proses berlangsung tertutup dan jauh dari akuntabilitas.
Di tengah situasi tersebut, muncul dugaan kuat adanya keterlibatan kepentingan politik. Nama Deden Apriandhi, yang pada waktu itu menjabat sebagai Pelaksana Harian Sekda Banten, disebut-sebut sebagai calon terkuat.
Kedekatannya dengan Gubernur Banten, Andra Soni, memicu kecurigaan bahwa proses seleksi hanya menjadi formalitas untuk meloloskan figur yang sudah disiapkan.
Kecurigaan publik semakin menguat dengan adanya lonjakan nilai pada tahap tertentu yang tidak disertai penjelasan terbuka. Rekam jejak Deden saat menjabat sebagai Sekretaris DPRD Banten juga kembali mencuat, di mana pernah muncul pemberitaan mengenai dugaan penyimpangan anggaran. Meski tidak ada penetapan hukum, publik menilai integritas proses perlu diuji secara serius.
Setelah Deden menjabat Sekda Banten, pelantikan pejabat eselon II yang digelar oleh Gubernur Banten juga menuai kritik. Sejumlah pihak menduga adanya praktik nepotisme dan konsolidasi kekuasaan di tubuh birokrasi.
“Terlebih dalam promosi jabatan, seluruh Kabag dalam dinas Sekwan mendapatkan promosi eselon dua, apakah kabag dan kabid di dinas lain tidak kompeten, ada apa dengan Prov. Banten?? Seperti akan membuat dinasti baru di Prov. Banten, kita sama-sama lihat kedepan,” demikian kritik yang beredar.
Aktivis dan akademisi menilai persoalan ini telah melampaui sekadar pengisian satu jabatan. Mereka menegaskan bahwa ini menyangkut kualitas kepemimpinan daerah dan komitmen nyata pada prinsip pemerintahan bersih.
“Jika proses seleksi jabatan strategis saja muncul dugaan rekayasa, bagaimana publik bisa percaya setiap keputusan birokrasi dijalankan demi kepentingan rakyat?” tegas Ilham.
Situasi ini menjadi semakin kontras ketika dikaitkan dengan visi misi Gubernur Banten: “Banten Maju, Adil Merata, dan Tidak Korupsi.” Dugaan ketidaktertiban prosedur, minimnya transparansi, hingga potensi nepotisme diduga menjadi ironi terhadap visi tersebut. Publik kini mempertanyakan apakah komitmen pemberantasan korupsi dan pemerintahan adil hanya sebatas slogan politik, bukan praktik nyata. (As/Red)
