Pandeglang, tirasbanten.id – Insiden karamnya kapal tongkang pengangkut batu bara milik PT Trans Logistik Perkasa pada Desember 2024 lalu masih menyisakan persoalan. Dampak lingkungan dan proses distribusi kompensasi yang dilakukan kini menuai kritik dari para nelayan dan pegiat wisata di Pantai Galau, Desa Cigondang, Pandeglang.
Pembagian kompensasi dari perusahaan kepada warga yang berlangsung di villa milik Cipto pada Minggu, 18 Agustus 2025, hingga pukul 18.00 WIB, justru menyisakan kekecewaan. Suasana sempat memanas saat para penerima, yang terdiri dari nelayan, pelaku UMKM, dan pegiat wisata, menyadari besaran kompensasi yang mereka terima tidak sesuai dengan ekspektasi.
Sejumlah nelayan mengaku hanya menerima Rp500 ribu, bahkan ada yang memperoleh Rp300 ribu. Padahal, menurut informasi yang beredar, total kompensasi yang dialokasikan perusahaan untuk nelayan dan pelaku wisata di pesisir Pulau Popole mencapai Rp255 juta.
Endang Mu’min (52), pengelola sebuah vila, mengaku tidak mengetahui adanya program kompensasi. Bahkan, ia menegaskan sama sekali tidak pernah didata sebagai calon penerima.
“Kok saya enggak tahu yah… Padahal tempat saya dijadikan lokasi kumpul selama proses pembersihan batu bara,” ujarnya.
Ketua Kelompok Nelayan, Tariat, juga menyampaikan kekecewaannya. “Jumlah yang kami terima sangat tidak sebanding dengan total kompensasi dari perusahaan. Kami merasa dirugikan dan diperlakukan tidak adil,” tegasnya.
Kekecewaan lain muncul dari proses pendataan. Ada sejumlah nelayan yang mempertanyakan seseorang yang sebelumnya meminta fotokopi KTP dengan alasan untuk keperluan anggaran kompensasi, namun hingga pembagian selesai, orang tersebut tidak dapat ditemui.
Mantan Penjabat (Pj) Kepala Desa, A Rumhi, saat dikonfirmasi menyatakan tidak tahu menahu tentang pelaksanaan pembagian kompensasi tersebut.
“Walaupun memang awal terjadinya (insiden) membuat pernyataan kompensasi saya tahu, namun saat pembagian sampe detik ini pun belum ada konfirmasi atau saat pembagian kompensasi tsb kepada saya. Tanya aja kepada Ali dan Saepul Bahri yang menjadi koordinator hal pembagian tsb,” ujarnya.
Akibat persoalan ini, para nelayan sepakat untuk tidak lagi memberikan data atau identitas mereka jika ada kegiatan serupa di kemudian hari. Mereka menilai hal itu hanya dijadikan alat untuk kepentingan pihak tertentu.
Mereka berharap ke depan, perusahaan maupun pihak yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat dapat lebih terbuka, adil, dan melibatkan musyawarah dengan para penerima sebelum pembagian kompensasi dilakukan. (As/Red)