24.1 C
Pandeglang

Perkawinan Anak Meningkat Selama Pandemi, Stunting Diperkirakan Bakal Ikut Meningkat

Published:

Jakarta,Tirasbanten – Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini khawatir dengan meningkatnya angka perkawinan anak di masa pandemi Covid-19.

Pada masa sebelum pandemi terdapat 23.126 kasus perkawinan anak. Di masa pandemi, angka itu naik menjadi 64.211 kasus. Tren ini juga diperkirakan meningkat di tahun 2021.

Diyah khawatir karena jika masalah ini tidak diperhatikan maka akan menjadi problem beruntun baik dari sisi ekonomi, budaya, kemiskinan, stunting hingga kerawanan sosial.

Dalam pidato pembukaan Milad ke-93 tahun Nasyiatul Aisyiyah, secara virtual zoom Sabtu (07/08/2021) Diyah juga menyatakan bahwa Nasyiatul Aisyiyah memperhatikan penanggulangan potensi stunting (gizi buruk) akibat peningkatan perkawinan anak, terutama di masa pandemi.

“BKKBN memprediksi naiknya angka stunting di Indonesia hingga 3%, hal ini terjadi karena persoalan ekonomi, sosial, hingga kurangnya asupan gizi dan tingkat stress ibu hamil di masa pandemi. Beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, beberapa ibu melahirkan yang meninggalkan bayi juga turut berpeluang terhadap terganggungnya tumbuh kembang anak hingga stunting,” kata Diyah.

Berbagai cara dilakukan Nasyiatul Aisyiyah untuk memahamkan masyarakat guna mencegah perkawinan anak. Salah satunya adalah melalui program kerjasama Talkshow Nasional dengan Kemenko PMK untuk meningkatkan kapasitas kader dalam pencegahan perkawinan anak.

“Tentunya acara ini juga sekaligus menyemarakkan kampanye pencegahan perkawinan anak oleh kader Nasyiah di seluruh Indonesia. Selain itu kegiatan Family Learning center juga dilakukan sebagai penguatan keluarga di masa pandemi, sebab keluarga adalah solusi dari munculnya dampak negatif pandemi yang tersebut di atas,” kata Diyah.

Selain kerjasama dengan pemerintah, Nasyiatul Aisyiyah selama pandemi menurut Diyah juga giat melakukan pencegahan stunting dengan sosialisasi, edukasi hingga pemberian makanan sehat bagi ibu hamil dan menyusui.

“Tak terkecuali dalam kondisi pandemi seperti saat ini, di mana kehidupan berubah, mobilitas terbatas hingga setiap manusia yang memiliki fitrah sebagai makhluk sosial pun juga tidak bisa bebas berinteraksi dan berkomunikasi,” tutur Diyah.

“Pandemi ini juga mengharuskan manusia untuk bisa berpikir secara lateral, open minded dan tentunya siap menghadapi resiko selama pandemi ini. Dalam hubungan kemanusiaan, meskipun setiap manusia mencoba bertahan dari virus, namun sejatinya memiliki jiwa sosial yang tinggi, tidak hanya mementingkan diri sendiri namun juga solidaritas pun tetap ada,” ungkapnya. (Ref/Sumantri)

Artikel terkait

Artikel terkait