Serang, tirasbanten.id — Memperingati 500 tahun berdirinya Kesultanan Banten, Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Kesultanan Banten: Masa Lalu, Kini, dan yang Akan Datang” pada Rabu (16/4), bertempat di Auditorium Lantai 3 Gedung Rektorat.
Acara ini menjadi ajang refleksi sejarah sekaligus forum ilmiah yang mempertemukan berbagai elemen—mulai dari akademisi, sejarawan, budayawan, mahasiswa, hingga masyarakat umum—untuk menggali kembali nilai-nilai luhur dan kontribusi besar Kesultanan Banten dalam sejarah Indonesia serta peradaban dunia.
Sultan Banten ke-XVIII, RTB. Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, secara resmi membuka acara dengan menyerukan pentingnya merawat warisan budaya Kesultanan sebagai sumber inspirasi pembangunan spiritual dan moral bangsa.
Rektor UIN SMH Banten, Wawan Wahyuddin, dalam sambutannya menegaskan bahwa kampus memiliki peran strategis dalam melestarikan sejarah dan budaya lokal.
“Sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi dijadikan pelajaran untuk membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Ketua panitia, H. Makmun Muzakki, menekankan bahwa seminar ini bertujuan menciptakan ruang diskusi ilmiah yang netral dan konstruktif mengenai sejarah Kesultanan Banten.
“Ini bukan soal politik, tapi budaya. Kita ingin menyatukan pandangan dan merumuskan kontribusi nilai budaya dalam pembangunan Banten ke depan,” jelasnya.
Dalam sesi pemaparan, sejarawan publik dari Kesultanan Cirebon, Mustaqim Asteja, mengangkat tema “Pararaton Kesultanan Banten: Refleksi Sejarah 5 Abad”. Ia menyebut Banten sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan dunia sejak abad ke-16, sebagaimana tercatat dalam dokumen para penjelajah Eropa.
“Banten adalah bagian dari sejarah global. Pedagang dari Tiongkok, Arab, Melayu, hingga Eropa pernah menjadikan Banten sebagai titik temu ekonomi dan budaya,” ungkapnya.
Sementara itu, Tihami, menyampaikan kritik sosial terhadap kondisi Banten masa kini yang dinilai jauh dari kemegahan masa lalu. Ia menyoroti lemahnya kepemimpinan budaya yang menyebabkan masyarakat kehilangan arah.
“Dulu ada pemimpin yang membimbing, sekarang tidak. Untuk itu, kedaulatan budaya harus dikembalikan kepada pemangkunya, yaitu Kesultanan,” tegasnya. Ia mendorong rekonstruksi Kesultanan Banten sebagai bagian dari upaya strategis membangun identitas budaya yang kuat.
Menutup sesi narasumber, Mufti Ali, menyajikan hasil riset tentang perjalanan Maulana Hasanuddin dari empat sumber lokal. Ia menekankan pentingnya pelurusan narasi sejarah berdasarkan dokumen otentik, bukan sekadar mitos yang berkembang di masyarakat.
Seminar yang dimoderatori oleh Ahmad Yani ini berlangsung dengan antusiasme tinggi dan partisipasi aktif dari peserta. Di akhir acara, forum ini berhasil merumuskan sejumlah rekomendasi penting yang akan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sebagai bagian dari langkah strategis membangun kembali kejayaan budaya Banten di era modern. (Jee/Red)